LIad Y9 RajinD iiahh :P

Jumat, 03 Desember 2010

Resensi Buku "Anak Semua Bangsa" dari Pramoedya Ananta Toer



Judul : Anak Semua Bangsa 
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer 
Penerbit : Lentera - Jakarta 
Tahun : 2007

Anak Semua Bangsa adalah episode kedua dari Tetralogi Buru. Di awal cerita – yang merupakan lanjutan dari buku sebelumnya – saya sudah hanyut dan banjir air mata mengetahui kelanjutan nasib Minke, Annelies, dan keluarganya yang diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Jika dalam buku pertamanya, Bumi Manusia, cerita lebih fokus pada masalah pribadi dan pencarian jati diri seorang Minke, maka di buku kedua ini metamorfosis dirinya begitu terasa.
Buku sekuel kedua ini menggambarkan penderitaan rakyat Jawa akibat kekejaman penjajahan Belanda. Pertama Jan Dapperste alias Panji Darman mengabarkan bahwa Annelies sudah kehilangan semangat hidup. Di kapal Annelies sudah sakit dan jan ikut merawatnya. Di Nederland annelies tidak diurusi oleh walinya. Tidak lama kemudian dia meninggal. Ketika Khoe Ah Su, seorang aktivis Cina yang sedang mengampanyekan nasionalisme datang. Marten Nijman, redaktur SN v/d D minta Minke mewawancarainya. Tulisannya lantas diplintir oleh Nijman. Dia menulis bahwa Khoe datang secara ilegal dari Tientsin dalam rombongan besar yang lalu dipecah ke berbagai kota. Tapi masyarakat Cina menolak gagasannya. Dia dikabarkan sudah jadi buronan. Minke tentu saja kaget. Nyai Ontosoroh menerangkan bahwa itulah watak Eropa : licik, penipu, jahat. Mereka unggul di ilmu dan ekonomi tapi cacat moral. Hukum dan pengadilanpun untuk kepentingan mereka, bukan kepentingan pribumi. Kemudian digambarkan kekejaman administratur pabrik gula. Namanya Frits Homerus Vlekkenbaaij, diucapkan Plikemboh oleh orang Jawa. Dia pemabok, pemarah, kejam dan pengganggu wanita. Ketika melihat Surati, anak perempuan Sastro, timbulah niat jahatnya. Plikemboh menyiapkan jebakan untuk Sastro. Suatu ahri uang kas pabrik yang jadi tanggung jawab Sastro hilang. Plikemboh mau memberi hutang dengan syarat Surati diserahkan kepadanya. Semula Surati dan ibunya menolak tapi tanpa daya. Akhirnya Surati menerima dengan sebuah rencana balas dendam. Suatu malam dia pergi ke sebuah desa yang terkena wabah pes. Dia mampu masuk walaupun desa itu dijaga ketat agar orang luar tidak bisa masuk da orang desa tidak bisa keluar sampai mati semua bersama penyakitnya. Ditemuinya seorang bayi yang sedang sekarat dan akhirnya mati dalam pelukannya, sedangkan orang tuanya sudah mati di dekatnya. Esoknya Surati datang menyerahkan diri ke Plikemboh. Dengan cepat Plikemboh tertular. Beberapa hari kemudian mereka mati bersama terkena sakit pes. Pramoedya juga menggambarkan penderitaan kaum tani. Minke bertemu denagn Trunodongso, seorang petani ayng sedang diteror untuk memberikan tanahnya kepada pabrik gula. Trunodongso punya tanah lima bau. Tiga bau sudah disewakan kepada pabrik gula dengan paksa selama delapanbelas bulan tapi nyatanya sampai dua tahun kecuali dia mau dikontrak lagi untuk musim berikut. Uang kontrak 11 picis tapi dia hanya menerima 3 talen jadi masih kurang 35 sen. Minke berjanji mau menulis kasus ini di koran. Tapi Nijman menolak. Kommer mengungkapkan bahwa Herman Mellema pernah konflik dengan patih Sisoarjo sehingga si patih dipindah ke Bondowoso. Dia juga konflik dengan camat yang jadi tuan tanah. Nyai kaget karena ingat pernah dengar ada orang mati konon ditanduk kerbau dan kata orang camat Sidoarjo. Dia sekarang yakin camat itu korban pembunuhan. Nyai mengira itu pastilah akal busuk Herman Mellema. Pengaruh liberalisme Eropa digambarkan dengan pertemuan Minke dengan Ter Haar, seorang jurnalis Belanda. Dia mepaparkan semua kebusukan kolonial.
Dia ceritakan kejayaan kapital di perkebunan, pertanian, transportasi dan pertambangan. Pabrik gula juga sudah jadi monster, korbannya juga sudah banyak. Salah satu contoh adalah van de Putte. Waktu jadi mentri jajahan dia bikin undang undang gula. Ternyata dia memiliki ladang tebu terbesar di Besuki Bondowoso. Petani priangan juga jadi korban empuk. Dulu mereka punya ratusan kerbau yang dilepas. Agen pribumi lalu menebar racun sehingga banyak hewan mati. Terjadi wabah akibat bangkai membusuk. Lalu dikeluarkan larangan hewan berkeliaran. Dengan tekanan lantas rakyat menyerahkan tanahnya. Jadilah perkebunan teh sedangakan peternakan besar rakyat musnah. Gambaran kekejaman kolonialisme dilengkapi dengan tokoh Maurits Mellema, anak Herman Mellema dengan istri pertama. Dialah yang akan mengambil alih perusahaan Nyai berdasar vonis pengadilan Amsterdam bahwa dia pewaris sah aset Herman Mellema. Dia datang dengan sangat arogan ke rumah Nyai. Di sana sudah berkumpul kerabat dan teman teman Nyai. Mereka memprotes tapi tidak digubris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar